Thursday, 18 August 2016

Novel Sang Pembelajar dan Sosiologi pengarang--





Pengaruh Sosiologi Pengarang terhadap Novel Sang Pembelajar
Oleh Deden Fahmi


            Sebagai pengarang, mau tidak mau, pasti mempengaruhi hasil karyanya sendiri. Lingkungan tempat hidup pengarang, pergaulan, wawasan dan latar belakang pendidikan pengarang menjadi beberapa aspek yang sangat mempengaruhi hasil karya.
            Novel salah satu bentuk hasil karya yang banyak dipengaruhi oleh pengarangnya. Semisal Pramoedya Ananta Toer yang novel-novelnya banyak dipengaruhi pengalaman dan lingkungannya di zaman pra-reformasi dan kedua orde yang pernah jaya di Indonesia. Djenar Maesa Ayu yang juga banyak dipengaruhi oleh gaya hidupnya dan lingkungan pergaulannya dalam banyak karya sastranya. Novel Sang Pembelajar, sebagai hasil karya yang cerdas, banyak dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya.
            Latar belakang novel ini yang menceritakan sebuah keluarga sederhana dengan kepala keluarga seorang guru, anak yang juga bercita-cita menjadi guru, sedikit banyak membuktikan bahwa pengaruh pengarang sangat kuat dalam pemilihan tema besar novel tersebut. Wildan F. Mubarok yang merangkap sebagai aktivis pendidikan, selain menjadi dosen di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan sebuah kampus swasta, memberikan jawaban atas pertanyaan: mengapa memilih tema pendidikan dalam novel tersebut?
            Pengalamannya sebagai guru dan dosen, terlebih pencetak tenaga pendidik, membuatnya mendapatkan ilham atas kegelisahan dunia keguruan akhir-akhir ini. Kritik-krtik tajam dan tepat sasaran banyak disiratkan dan disuratkan dalam novel ini.
            Muhamad Yusuf Jaya Dinata teman seangkatan saya yang dikisahkan sudah lima bulan tak digaji karena dana BOS tak kunjung cair. Bagian yang menyatakan Jaya, yang belum jaya harus menjadi tukang pijat dan sempat frustrasi jadi guru atau sesekali meminjam uang pada rekan dan uang tabungan siswanya nyatanya membuat saya harus membunuh prinsip saya mengenai menangis. (39, Sang Pembelajar: 2016)
            Dalam kutipan di atas, jelas kritik pedas pengarang yang sangat mengetahui sekali situasi dan kondisi perihal dunia pendidikan yang kurang menyejahterakan guru meski pemerintah sudah berusaha penuh melalui banyak program. Kritik semacam ini banyak dikemukakan oleh pengarang sebagai bentuk kegelisahan yang seperti tumpah begitu saja dan mengalir sebagi fiksi dalam novel ini.
            Selain dari soal tema dalam novel ini, banyak juga kondisi sosial yang dibuat seakan-akan pembaca menyaksikan kisah hidup pengarang sebagai realita dalam novel tersebut—realita dalam novel sebagai rekaan dari imajinasi yang dibuat pengarang dari pengalaman hidupnya belum tentu kisah asli kehidupan pengarang. Dengan kata lain, karya fiksi yang memang berdasar dari realita benar-benar banyak menjadi inspirasi tersendiri dalam proses penulisan novel Sang Pembelajar oleh Wildan F Mubarok.
            “Namaku Tegar”
            “Siapa yang tanya?” jawabnya dengan muka tak sedikitpun bercanda.
            “Sialan” Tegar menggeruti dalam hati.
            “Kau anaknya Pak Mumuk guru agama Islamkan?”
            “Sok tahu. Tahu dari mana?”
            “Nenek-nenek tatoan aja tahu, Gar. Apalagi cowok ganteng kaya aku”.
            Sial nih orang, picabokeun. (45, Sang Pembelajar: 2016)
            Tegar, si tokoh utama dalam novel tersebut, adalah anak dari seorang guru yang bernama Pak Mumuk. Hubungan sosial dari seorang anak dengan ayah seorang guru benar-benar direpresentasikan kembali oleh penulis novel Sang Pembelajar sebagai latar belakang kekeluaragaan yang juga dimilikinya di kehidupan nyata. Hal tersebut belum tentu memang menjadi satu-satu alasan mengapa tokoh utama tersebut memiliki ayah yang berprofesi sebagai guru juga—mirip si pengarangnya? Akan tetapi, sengaja atau tidak sengaja, bisa dipastikan bahwa pengarang sangat terinspirasi dan terimpresi dari kehidupan sehari-harinya, meski pun tak juga bisa dijelaskan bahwa setiap dialog, adegan, dan peristiwanya memang benar-benar realita pengarang di kehidupan nyata.
Potret Kenyataan Sosial dalam Novel Sang Pembelajar karya Wildan F. Mubarock
            Kepercayaan bahwa sastra adalah rekaman sebuah zaman masih kuat dalam keyakinan masyarakat dan para peneliti sastra. Maka dari itu tak heran bahwa setiap karya sastra akan merefleksi kembali kejadian sosial atau menjadi sarana dokumentasi serta potret sosial di sebuah zaman. Dan itu bisa dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan data-data empiris dan historis.
            Pada bagian ini, akan diuraikan bagaimana merasuknya kondisi sosial masyarakat yang terkandung dalam sebuah karya sastra khususnya novel Sang Pembelajar karya Wildan F. Mubarock. Sejenak akan dilepaskan kaitan antara pengarang dengan karyanya agar bisa memperoleh kesimpulan yang mutakhir bahwa kondisi sosial terekam dalam novel ini.
            Novel ini banyak menceritakan tentang kisah-kisah guru yang kurang sejahtera dan kurang perhatian dari pemerintah. Di Indonesia banyak terjadi kasus bahwa seorang guru harus menyambi atau mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dan secara jelas bahwa di novel ini menyajikan kondisi sosial cerita sebagai refleksi dan rekam jejak kenyataan di zaman sekarang.
Setiap harinya, Ia harus segera pulang seusai dari sekolah dan membantu Mak Yati di rumah berjualan nasi uduk dan beberapa makanan ringan serupa chiki dan rupa-rupa minuman. (55-56, Sang Pembelajar: 2016)
            Dalam kutipan tersebut jelas menggambarkan kehidupan keluarga Pak Mumuk yang harus dibantu dengan wirausaha agar kebutuhannya bisa terpenuhi. Kondisi sosial seperti ini banyak ditemukan di zaman sekarang pada guru-guru honorer dan sebagian guru non-PNS. Penggambaran ini menjadi jejak rekam bahwa dunia pendidikan Indonesia sedang dalam keadaan kritis dan perlu pembenahan lebih. Dan itu menjadi kritikan yang sangat tepat sasaran jikalau masyarakat sadar atas keprihatinan bersama tersebut.
            Dalam novel tersebut juga banyak dihadirkan kondisi ekonomi yang sangat prihatin dari sebuah keluarga seorang guru. Penggambarannya sangat nyata bahwa untuk membeli baju koko saja keluarga tersebut mesti memperhitungkan dan membandingkannya dengan kebutuhan lain yang dianggap lebih penting.
            Selain itu, ada suatu hal yang menggelitik di beberpaa adegan dalam novel tersebut. Dalam adegan peristiwa pemalakan dan premanisme di sekolah, pengarang mencoba menghadirkan potret pendidikan dari sudut lain: siswa/terdidik. Pada kenyataannya, premanisme dan perkelahian antarsiswa masih sering terjadi dalam kenyataan pendidikan di zaman sekarang. Alhasil, pengarang mencoba bijaksana tentang bagaimana beratnya kerja seoang guru dalam hal pendidikan di sekolah, apa lagi dengan timbal balik yang kurang menyenangkan dari segi materi.
            Perkelahian amatir di jalanan gang tak bisa dihindarkan oleh Tegar dan Wildan. Keduanya bahu membahu melawan dengan sekuat tenaga. Sesekali tas ransel mereka jadi senjata dadakan. Mesti tak bertubuh kekar Wildan merobohkan dua di antara mereka dengan tendangan melayangnya. Sementara Tegar malah kewalahan menghadapi Si Kurus dan Bogel. Dua orang tunggang langgang setelah kata ampun terlontar. (58, Sang Pembelajar: 2016)
Dampak Sosial dari Novel Sang Pembelajar karya Wildan F. Mubarock
            Novel  Sang Pembelajar ini diharapkan memberikan sebuah pemahaman dan keterbukaan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan membaca novel tersebut, diharapkan, masyarakat pembaca bisa membuka mata terhadap kenyataan yang memilukan dari seorang guru—meski tak semua guru berakhir tragis dalam hidupnya. Penggamabaran ini bisa sangat memotivasi para pelaku pendidikan agar lebih prihatin terhadap dunia pendidikan yang banyak memberikan manfaat dan pengalaman yang tak terhingga nilainya.
            Selain itu, novel ini diharapkan menjadi kritik tajam yang langsung dilesatkan ke mata pemerintah agar bisa lebih melihat lebih nyata terhadap dunia pendidikan yang diwakili sosok Pak Mumuk dan keluarga dengan segala problematika kehidupan berkeluarganya yang serba kekurangan. Dengan begitu, tak ada lagi anggapan bahwa guru adalah sebuah profesi yang belum bisa menjamin kesejahteraan padahal dari sinilah kesuksesan dipupuk dan disiramkan kepada generasi penerus bangsa.
            Harapan-harapan tersebut menjadi kemungkinan terbesar bahwa dampak inilah yang sepertinya ingin dihasilkan oleh pengarang melalui novel Sang Pembelajar. Dan akhirnya, hipotesis dampak ini bisa dibuktikan di masa depan; apakah masyarakat akan terbuka matanya atas keprihatinan dalam dunia pendidikan Indonesia? Semoga.
Wildan F Mubarock

Author :

Terimakasih, telah membaca artikel mengenai Novel Sang Pembelajar dan Sosiologi pengarang--. Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda. Mohon untuk memberikan 1+ pada , 1 Like pada Facebook, dan 1 Follow pada Twitter. Jika ada pertanyaan atau kritik dan saran silahkan tulis pada kotak komentar yang sudah disediakan.
Bagikan Artikel

0 komentar:

Post a Comment