Oleh
Ade Rusfiyandi
Tentang
Novel Sarjana Di tepian Baskom
Berapa
banyakkah anak di sekolah yang bercita-cita kelak menjadi guru? Walaupun ada,
kecil pastilah jumahnya. Banyak anggapan menjadi seorang guru takkan bisa
mempertahankan hidup dengan segala kecukupan. Keresahan melanda anak-anak muda
khususnya para mahasiswa di kejuruan pendidikan alias para calon guru. Tidak
seperti arsitek yang membangun gedung-gedung tinggi bila dapat tender maka makmurlah mereka, tidak
seperti dokter yang bila pensiun sekalipun masih bisa membuka praktik kesehatan
pribadi maka pundi-pundi uang masih lancar didapat. Seorang guru masih
terombang-ambing nasibnya, mengikuti kebijakan pemerintah yang masih saja belum
dianggap bijak oleh rakyatnya. Hal itu pula yang dirasakan Tegar, seorang
sarjana pendidikan yang baru saja lulus. Banyak tetangga yang menggunjing
merendahkan bahkan membandingkan anak mereka yang sudah kerja sebagai buruh di
perusahaan tertentu. “Lihatlah si Marno! Lulus SMA
kerja di pabrik gajinya lebih dari dua juta,” ya begitulah hantaman telak yang
diterima Tegar dari Mak Yati, ibunya. “Lalu untuk apa kita
sekolah tinggi-tinggi kalo nantinya jadi seperti Tegar?”, tanggapan yang sudah
biasa ditelan Tegar bulat-bulat karena gajinya kalah besar dengan buruh yang
lulusan SMA.
Setegar namanya, Tegar tetap lurus hati memilih guru sebagai profesinya. Tegar mengajar di sekolah dekat kampugnya yang bisa dibilang pendapatannya tidak banyak bahkan cenderung kurang. Tegar merasakan sebuah kebahagiaan sekaligus kegundahan yang mendalam selama mengajra di sekolah tersebut. Bahagia ia dapat ikut mengabdi pada lingkngannya, gundah karena keadaan guru yang tetap saja begitu,
“... tentang kesejahteraan guru, tentang upah yang
kurang dari Rp15.000,00 per jamnya, tentang keadilan yang tak adil. Di mana
Pancasila?”.
Ditambah dengan siswa-siswa di
sekolah tersebut yang ‘nungging’ di
bawah garis kemiskinan, memakasa minat bersekolah mereka ditekan
sekerdil-kerdilnya oleh orangtua mereka yang lebih setuju anaknya mencari uang.
Nasib berkata baik rupanya, pada
suatu kesempatan ia bertemu Mrs. Adri Nurcahyani, seorang
vice principal atau kepala sekolah di
sekolah dengan taraf internasional. Singkat cerita Tegar diterima menjadi guru
di sekolah tersebut, bahkan menjadi pembina kelas art atau kesenian yang mengikuti festival teater nasional dengan
memboyong tropi juara dua. Nasib bertambah baik dirasa oleh Tegar, bersama
janji yang dibangun Daaris dan dirinya. Daaris adalah sahabat Tegar yang paling
dekat ketika mereka bersama-sama kuliah. Daaris adalah orang yang mengajarkan
Tegar tentang dunia kesenian khususnya teater. Saat tegar bersyukur telah
memperoleh gaji sebesra 5 juta rupiah, Daaris telah tenar dengan grup
musikalisasi puisinya, Senandung. Keduanya memilih jalan berbeda, tetapi menuai
kesuksesan yang sama. Ketunaian janji 7 Desember di puncak Gantole anatara
Daaris dan Tegar.
Tentang
Penulis
WildanF. Mubarock secara harfiah berarti anak kecil peng-huni surga.
Lulusan Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Hamka Prodi Bahasa Indonesia ini mengabdikan
dirinya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan sebagai
dosen. Beberapa buku yang pernah diterbitkan antara lain: kata-berkata (kumpulan
puisi haiku dan puisi pamflet) dan CROOT, “Cerita Orang-Orang Top”
(Coretan Kata yang Terbuang dan Gerimis Aku Menangis). Kedua buku diterbitkan
oleh Kopisastra dan Wr Media Publising pada tahun 2013 dan 2014. Novel Sarjana
di Tepian Baskom merupakan novel garapan per-tamanya. Novel yang akan
menjadi ayah dan ibu untuk mela-hirkan novel-novel selanjutnya (begitulah janji
yang diucapkannya). Menulis dan mengajar baginya merupakan takdir yang mesti
dijalani dengan kesungguhan hati serta ketulusan diri.
Analisis
Novel
“Sarjana di Tepian Baskom” karya Wildan F. Mubarok dalam Perspektif Psikosastra
Melalui Sudut Pandang Psikologi Pengarang Berdasarkan Tokoh di Novel
Psikosastra
tidak akan membahas ketuntasan sebuah masalah dengan cara pemecahan psikologis,
melainkan membantu karya sastra menjadi jelas lewat pandangan psikologis. Ada
tiga sasaran utama dalam psikosastra, yaitu karya sastra, penulis, dan
pembacanya. Nyoman Kutha Ratna beranggapan bahwa psikosastra lebih condong
membahas tentang psikologis penulis atau pengaranganya. Maka dari itu karya
sastra (tokoh yang ada di dalamnya) akan membantu analisis psikologis
pengaranganya. Sedangkan peneliti (yang melakukan analisis) akan secara alami
sebagai pembacanya. Itulah mengapa analisis kali ini akan menitikberatkan
psikologis pengarang novel sebagai objek utama penelitian.
Sebelum
menganalisa psikologis pengarang ada baiknya dianalisa penokohan pada novel Sarjana di Tepian Baskom. Berikut adalah
hasil analisa penokohan (tokoh utama saja) dalam novel tersebut:
No.
|
Nama Tokoh
|
Penokohan
|
Kutipan yang Membuktikan
|
Halaman
|
1
|
Tegar
|
Simpati pada anak didiknya
|
“Aku ingin menjadi buruh pabrik. Cita-citaku jadi buruh pabrik
yang sukses.‖ Ucapan Dado diamini seisi kelas. Sebuah cita-cita spontan dan
lantang. Namun, menyayat hati Tegar.”
|
25
|
Pintar dalam akademik
|
“... setelah lulus sarjana dengan nilai IPK di atas rata-rata,
Tegar tak pernah menerima honor mengajarnya lebih dari satu juta rupiah....”
|
23
|
||
Religius
|
“Sepenggal doa setelah salat tahajud meng-getarkan hati Tegar,
bibirnya melantunkan doa, kedua tanganya menengadah ke Arsy tempat
Sang Pencipta bersemayam. Ber-doalah Tegar penuh khusyuk.”
|
37
|
||
Berbakti pada orangtua
|
“Tegar mengerti bahwa membuat Mak Yati bangga dan ba-hagia adalah
alasan yang tepat untuk melangkah.”
|
49
|
||
Sederhana
|
“Di antara mereka ada yang memberikan kenang-kenangan berupa baju
batik dan kemeja sederhana bukan merek ternama dalam bungkus kado. Bagi Tegar
bukan masalah harga, tapi ketulusan siswa-siswanya memberilah yang membuatnya
terharu dalam lantunan lagu yang samar oleh angin yang ber-dansa tanpa gaun
pesta dan hingar-bingar lampu disko. Orang kaya memberi itu biasa, orang tak
mampu memberi itu luar biasa.”
|
51
|
||
Melankolis atau perasa
|
“Lantungan lagu Terima Kasih Guru membawa
haru yang
tanpa sadar membuat Tegar berkaca-kaca mesti kacamata menutupi
mata birunya.”
|
51-52
|
||
Bersungguh-sungguh serta tanggung
jawab dalam bekerja
|
“Sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, ia
mesti menjadi model nyata bagi siswanya. Akan terlihat lucu jika mengajarkan
menulis, namun tak pernah menulis. Akan jadi apa siswa-siswa Tegar?”
|
55
|
||
Lugu
|
“Pria lugu yang polos dan belum mengerti arti
cinta itu hanya punya satu kata di benaknya: sukses.”
|
67
|
||
Optimistis
|
“
‘Pak Tegar yakin sekali, memang hadiahnya
berapa?’
‘Tujuh puluh lima juta, Bu, untuk juara
pertama.’
‘Wah, besar juga, juara kedua berapa, Pak?’
‘Saya tidak berpikiran juara kedua, Bu.
Makanya yang saya lihat hanya juara satu,’
Tegar mencoba meyakinkan atasannya. Sedikit
tersenyum untuk meyakinkan atasannya.”
|
76
|
||
Pengayom bagi adik-adiknya
|
“Tegar hendak mengajarkan dua hal malam itu
pada Wilma. Pertama, bahwa perbuatan buruk tidaklah mesti dibalas dengan
keburukan. Kedua, berbagi merupakan perintah agama yang berbanding terbalik
dengan hukum matematika.”
|
103
|
||
Gemar mengarang lagu
|
“Senandung Lagu
untuk Ayah, karya terbaru Tegar yang hendak ia rekam
bersama Daaris, persembahan untuk almarhum ayah, bapak.”
|
115
|
||
Memiliki prinsip
|
“
‘Kau nih, Gar, sudah mau lulus belum punya
pacar, malu napa? Nanti wisuda PW-mu siapa?’
‘PW apa sih?’
‘Pendamping weenak?
‘Buatku pacaran NO, taaruf Yes.’
‘Dasar kau sok religius.’ “
|
136
|
||
2
|
Daaris
|
Humoris namun penyendiri
|
“...jawab singkat pria berambut poni yang kocak tapi
menjengkelkan bagi sebagian besar teman-temannya di kelas A. Kocak sebab ia
suka melawak dan bercanda tapi, lebih sering terlihat asyik menyendiri dengan
pensil kayu bermerek AB, penghapus putih, dan file bututnya bergambar
penyair W.S. Rendra dan Erros Sheila On 7.”
|
30
|
Seorang berjiwa seni
|
“Namun, jangan tanya kemampuannya berpuisi dan bermusik, ialah
jagonya.”
|
30
|
||
Kritis
|
“ ‘... Tapi, mesti kauingat aku ini minoritas karena sejak SD
sampai perguruan tinggi kita dididik untuk mengembangkan otak kiri saja,
padahal yang terpakai di masyarakat sering kali justru sebaliknya.’ ”
|
33
|
||
Cerdas dalam berargumen
|
“
‘Sebagai contoh Gar, pesepak bola kaya Ronaldo
dibayar mahal bukan karena hafalannya tentang pengertian sepak bola,
jenis-jenis menendang atau hafal luas lapangan sepak bola. Keterampilan
bermain bolalah yang menjadikannya bernilai mahal dan dielu-elukan jutaan
umat manusia. Contoh lain, Reza Rahardian dibayar fantastis bukan karena
hafalannya mengenai pengertian drama atau jenis-jenis drama, melainkan karena
keterampilannya bermain drama dalam layar lebar. Hafalan tadi di otak kiri,
nah aplikasinya bagian otak kanan, Gar. Right?‘ ”
|
33-34
|
||
Disiplin
|
“ ‘Disiplin kalian mana? Ingat disiplin itu
penting karena menyangkut tiga hal: pertama, waktu; kedua, tanggung jawab;
dan yang ketiga, amanah,’
bentak Daaris dan seketika wajahnya memerah.”
|
84-85
|
||
Sahabat yang dapat diandalkan
|
“Itulah kenang Tegar kepada Daaris, teman yang
menginspirasinya dalam bersastra dan ber-teater. Teman sekaligus guru,
sahabat dalam berkesenian yang pastinya mengasyikkan.”
|
87
|
||
Puitis
|
“ ‘Jangan salahkan awan, Gar. Angin yang
membawanya terbang menutupi matahari yang cantik,’ bisik Daaris beberapa tahun lalu di lantai
empat kampus...”
|
94
|
||
Jujur dalam beranggapan
|
‘Bagus.’
‘Terus?’
pinta Dinda penasaran.
‘Ya bagus, cuma masih kasar mainnya,’ sahut Daaris.”
|
128
|
||
Lalai dalam beragama
|
“Ketakutan Tegar akhirnya terjadi pada Daaris.
Lupa perintah Tuhan. Daaris melupakan kewajibannya. Melalaikan-nya.”
|
156
|
Setelah dianalisis penokohannya,
barulah tahap selanjutnya adalah menganalisis psikologis pengarang. Dalam
sebuah novel sejatinya memang mengisahkan kenyataan dan fiksi. Tergores jelas
dalam novel ini kedua hal tersebut. Dapat dikatakan demikian, sebab analisator
mengetahui sedikit banyak mengenai pengarang, pengarang adalah dosen dari
analisator. Ada keuntungan karenanya, analisator mendapat kemudahan menganalisa
psikologis pengarang bukan hanya dari karyanya saja, melainkan mengalami
langsung gambaran psikis dari pengarang. Agak terdengar subjektif memang, namun
percaya atau tidak analisator berupaya tidak menjadi subjektif.
Kita mulai dari pemilihan judul.
Judul Sarjana di Tepian Baskom
mengisyaratkan sebuah ironi dengan gaya bahasa paradoks atau bertentangan.
Seorang sarjana yang dianggap seorang yang berpendidikan disandingkan dengan
hal yang sepele semacam baskom, merupakan salah satu kecenderungan pengarang
yang menyukai hal-hal yang satir. Ada kegundahan di dalam kesatiran tersebut,
berarti pengarang dengan kepekaannya mampu menangkap masalah sosial di
sekitarnya, di mana banyak beranggapan titel sarjana adalah kemewahan tersendiri
namun nasibnya banyak yang menemui ketidakberhargaan semacam nasib baskom yang
murah. Terlebih lagi yang terjadi pada sarjana keguruan yang malu mengakui
latar belakang pendidikannya, sebab beranggapan guru bukanlah profesi yang
menjanjikan bagi dalam hal materi untuk menunjang kehidupan dan tidak dapat
dibanggakan sama sekali pada orang lain.
Dua tokoh sentral dalam novel
tersebut, Tegar dan Daaris, merupakan satu kepribadian yang ‘dibelah’. Tegar
seorang guru dengan gelar sarjana pendidikan adalah mutlak seorang Wildan F.
Mubarok yang sesuai dengan latar belakang Tegar. Kemudian Daaris merupakan
orang yang sangat mencintai kesenian, terlebih lagi pada musikalisasi puisi,
yang lagi-lagi adalah diri Wildan F. Mubarok dengan harapan yang terkandung di
dalam tokoh tersebut. Seolah-olah Wildan F. Mubarok bermain dalam kisah orang
lain yang sangat dekat namun sesungguhnya adalah pribadinya sendiri. Terbukti
dari penggambaran Tegar yang cenderung menuruti kaidah-kaidah profesi keguruan
yang kental. Di sisi lain Daaris digambarkan seorang yang idealis dan
memberontak terhadap apa yang tidak dikehendakinya semisal dalam kutipan
“... tapi, mesti kauingat aku ini minoritas karena sejak SD sampai perguruan tinggi kita dididik untuk mengembangkan otak kiri saja, padahal yang terpakai di masyarakat sering kali justru sebaliknya.”.
Pada dasarnya tokoh inti yang
merefleksikan Wildan F. Mubarok adalah Tegar, namun tidak dapat dipungkiri
caranya bercerita melalui point of view
orang ketiga adalah sisi lain Wildan F. Mubarok yang ‘pemberontak’ seperti
Daaris. Sudah sangat jelas kedua tokoh tersebut memanglah satu kepribadian yang
sama yang bersumber dari pengarangnya. Alasan mengapa kepribadian menjadi
bercabang adalah kemungkinan menanamkan harapan yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Daaris seorang seniman yang berhasil tenar melalui karyanya dan
kemampuannya. Wildan F. Mubarok kemungkinan ingin dirinya seperti itu, namun
pemilihan hal itu sebagai fiksi menjadi jawabannya. Wildan F. Mubarok merupakan
guru yang mau jujur dalam menyampaikan perasaannya. Perasaan gundah yang
mempertanyakan “Apakah guru harus sengsara dalam materi di saat dia senang
mengabdi?”. Pertanyaan itu memberi pertanyaan yang lain “Haruskah menjadi guru
dengan penghasilan ‘pas-pasan’ atau meninggalkannya?”.
Dari pertanyaan itulah Wildan F.
Mubarok merangkai sebuah fiksi dengan harapan yang besar. Tegar yang bernasib
baik bisa mengajar di sekolah bertaraf internasioanl dan menjadikan
kehidupannya membaik. Namun tidak semua guru semujur nasib Tegar bukan? Di
situlah Wildan F. Mubarok ingin memberi gambaran pada pemerintah dengan
pernyataan andai saja nasib semua guru seperti Tegar.
Ada ironi yang ditangkap oleh Wildan
F. Mubarok yaitu dengan pencerminan kata-kata Stephen R. Covey,
Zaman akan memakan buruh-buruh dengan lahap tanpa ampun dan tak berperikemanusiaan. Kapitalis. Robot-robot menggantikan peranan manusia. Mereka yang bekerja dengan fisik semata akan punah dengan sendirinya.
Dalam
kisah tersebut, Tegar dicemooh oleh orang di lingkungan rumahnya, yang
beranggapan bahwa nasib guru tidak jauh lebih baik dari seorang buruh. Seorang
berpendidikan tinggi tidak lebih baik nasibnya dari orang bertamatkan
pendidikan SMA.
Ada humor yang slapstic pada novel tersebut, di mana nasib Tegar jadi membaik
dengan berpenghasilan cukup, lalu Mak Yati berbelanja sayuran di tukang sayur
keliling, temapt ibu-ibu bergunjing dan ‘membongkar’ urusan ‘dapur’.
Diceritakan tetangga Mak Yati jadi panas hati saat melihat belanjaan sayuran
Mak Yati yang terbilang besar dan menandakan keuangannya membaik. Nilai
kehidupan berharga yang dapat dipetik adalah biarkan semua orang menggunjing
sinis pada diri kita, tetapi penghasilan jugalah yang nanti akan meredakan
gunjingan mereka. Kenyataan sosial tersebut memang nyata dan benar-benar terasa
di negeri kita yang menilai kedudukan seseorang di masyarakat tinggi atau tidak
melalui angka penghasilan. Sebuah paradigma yang keliru dan tidak menggambarkan
adat ketimuran negeri kita.
Lebih jauh dan lebih mudah
menangkap sisi psikologis pengarang novel tersebut adalah dari pemilihan dan
pengolahan kata saat penceritaan, tidak terkait dalam tokoh. Di situlah Wildan
F. Mubarok menunjukkan gagasan, pendapat, dan perasaan yang jujur baik disadari
atau tidak disadari. Wildan F. Mubarok banyak menggunakan kata yang mungkin
dipandang tidak pantas dilontarkan dari seorang guru atau dosen seperti perkara
‘dede-dedean’ yang berbau seks dan kata-kata sarkastik lainnya. Sudah dapat
dijelaskan bahwa Wildan F. Mubarok adalah pemberontak yang mau keluar dari
kemunafikan bahwa guru adalah orang yang suci. Wildan F. Mubarok seakan ingin
berkata bahwa guru adalah manusia biasa yang memilik pemikiran sarkastik,
ucapan yang ‘nyeleneh’ dan bebas berekspresi bahkan liar.
Namun dibalik
keliaran-keliaran itu, Wildan F. Mubarok sebagai guru tidak mau keliaran itu
keluar dari kaidah sopan santun yang berlaku. Tergambar dari penyebutan tokoh
dengan gelarnya semisal penyebutan Dr. Hj. Eri Sarimanah, M.Pd., yang sepengetahuan
analisator jarang seorang penulis dengan formal mengatakan tokoh dengan gelar
pendidikannya. Berarti Wildan F. Mubarok pandai memposisikan dirinya pada
situasi yang berlawanan, atau kita pinjam slogan yang dikenal dimasyarakat
‘Bebas tetapi sopan’.
Dapat disimpulkan karya
sastra dapat membantu analisator dalam mengidetifikasi psikologis pengarang.
Tidak ada niatan untuk memberi anggapan dengan paksaan dakwaan yang harus
dipercaya, sebab psikosastra seperti yang sudah dikatakan tidak menyelesaikan
persoalan psikologis pengarang, jadi tidak ada yang baik atau buruk, benar atau
salah, dan tepat atau tidak tepat. Analisis ini hanya menyampaikan kesetujuan
analisator terhadap prinsip sastra yaituutile
un dulce, menyenangkan dan memberi manfaat. Karya sastra jugalah yang memperkenalkan diri pelakunya. Semoga.
Salah satu novel yang menginspirasi,sang pembaca ikut terbawa suasana cerita baik itu adegan sedih maupun senang... geat pa wildan setiap novel yg diterbitkan selalu membuat orng yang membaca kisah ini selalu merasa terinspirasi.
ReplyDeleteNurul fachriah
031115075
Saya ingin menulis novel seperti bapa tapi sementara masih belum bisa. Semoga suatu saat saya bisa menulis novel. Amin
ReplyDelete