Novel sarjana di tepian baskom edisi guru

Sebuah novel untuk para pendidik yang dengan tabah memanusiakan manusia

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, 30 July 2016

Novel Sarjana di Tepian Baskom Edisi Guru Karya Wilndan F. Mubarock












 

Ketika sains mengajari kita tentang apa yang benar, terukur, dan dapat dipertangungjawabkan kevalidannya. Dalam realitas kehidupan, terkadang banyak pula yang menempuh jalan pintas untuk mencapai kebenaran itu sendiri. Hasil akhirnya terkadang juga kebenaran itu menjadi kebenaran palsu. Disinilah sastra berbicara tentang kebenaran yang terabaikan oleh sains, kebenaran nilai-nilai yang ditelang dunia global. Sastra berbicara tentang  nilai-nilai yang mendidik  kita untuk serasa dengan insan lainnya. Rasa mengajari kita untuk membangun suara hati hati, membentuk moral universal, memupuk kebersatuan yang hakiki,  dan  sastra berbicara tentang rasa yang menyatuh bersama pribadi manusia sejak lahir. Rasa yang kadang di pandang sebelah mata oleh sains dewasa ini.


Tanggapan saya tentang Novel Sarjana di Tepian Baskom Karya Wildan F. Mubarock


Novel “Sarjana di Tepian Baskom Edisi Guru, karya dosen saya Wildan F. Mubarock" ini berkisah tentang Tegar yang menjalani hidup dengan kesederhanaan. Dalam kesederhanaan itu, Ia juga selalu bersyukur akan kebesaran Sang Kahlik dan  menghadapi setiap persolan  dalam kehidupan dengan tabah dan rendah hati. Tokoh yang juga hadir sebagai anak yatim ini menunjukan kedewasaan dan tanggungjawabnya dalam medidik dan membesarkan adik-adik, serta dalam  memenuhi kebutuhan keluarganya

Dalam keluarga Ia hadir sebagai anak sekaligus menggatikan posisi seorang ayah dalam hal mencukupi kebutuhan keluarga. Tegar selalu menjadikan sahabatnya Daaris sebagai tokoh insfirasi dalam berkarya. Teger dan Daaris ibarat otak kanan dan kiri yang saling melengkapi. Persahabatan mereka bukan sekedar saling membutuhkan, tetapi juga saling mendidik dan mengarahkan.

Persahabatan Tegar  dan Daaris  serta sikab dan tindakan dari mereka dapat dijadikan panutan oleh berbagai kalangan.  Terlebih khusus sangat berguna bagi pendidik atau pun calon pendidik yang akan membentuk watak generasi mudah dewasa ini. Tokoh utama dalam novel ini mengajari tentang moral  universal.  Menuntun kita untuk mengenali diri, mengendalikan diri, dan selalu tabah sebagai guru yang baik. Kita juga di ajari untuk  menuangkan sifat  dan karakter yang menunjung tinggi nilai-nilai moral yang berakar pada ajaran agama pada anak didik kita dalam  setiap proses belajar mengajar.

 
Novel ini mampu membuka mata batin kita. Menuntun serta membawa kita melayang dan menyelinap kedalam realitas kehidupan dewasa ini, untuk menyentuh dan merasakan kehidupan yang dianggap basi oleh kalangan berdasi di negara ini. Bukan hanya itu, novel ini pun mengajak pembaca untuk melihat sistem pendidikan di negara kita yang kadang terjadi sistem hirarki kekerabatan, kekeluargaan, dan kecurangan-kecurangan terselubung yang terjadi antara pendidik dan orang tua murid.


    “Sederhananya, sistem dinasti dalam tubuh pendidikan di negara kita”


Melalui  sang guru teladan  dalam novel ini akan mengajak kita untuk melihat dunia dengan mata batin . Kita juga  akan diajak berkelan menyusuri lorong-lorong yang terabaikan. Merasakan kehidupan kota yang mulai menomor duakan sang khalik. Para siswa di sekolah-sekoalah ternama yang mulai memandang rendah gurunya. Sinetron-sinetron dewasa ini yang dengan akuhnya menayangkan siswa berseragam sekolah, namun yang ditonjolkan pada tiap adegannya adalah percinataan kalangan remaja, bukan melainkan proses belajar mengajar, sampai dengan kapitalis yang mengambil peran sentral dalam perkembangan global dan akan terus membuh dan memadamkan nilai-nilai kemanusia serta mengubur nilai-nilai tradisonal yang seharusnya disletarika. Kesenjangan dalam pendidikan di negara kita yang seakan mengiakan pancasila hanyalah milik mereka yang berdasi.

Selain dari  persolan-pesolan di atas, Tegar akan mengajari bagaimana menjadi guru yang baik, bertangungjawab, dan selalu tabah dalam benjalani hiruk-pikuk dalam kehidupan. Ia juga mengajari bagaimana memahami kebhinekaan yang seharusnya tanpa membedakan ras dan agama. Semua itu disajikan penulis dengan bahasa yang lugas, puitis, menggelora, dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Di setiap alurnya, novel ini mengajari bagaimana kita melihat kehidupan dengan mata batin kita  dan disajikan dengan dialog-dialog yang membuat pembaca seakan-akan berada di tempat kejadian.
                                                                                     
Sekali lagi Novel ini sangat berguna bagi seorang calon pendidik seperti saya. Novel ini mampu mengajak kita untuk melihat apa yang sebenaranya terabaikan saat ini. Kejujuran dan kebenaran dipandang dongeng para pembual. Saat ini yang ada, jika anda ingin sukses anda harus licik dan pandai bertopeng. Semua persolan itu pun di sajikan dengan singkat padat dan jelas.

Lebih mendalam lagi. Anda dan saya kadang dibutakan dengan kata-kata seperti “keberhasilan, kemapanan, dan kesuksesan”. Benar pendidikan saat ini mempersiapkan kita menjadi manusia-manusia sukses, siap dipekerjakan di dunia kerja, dan hidup dalam kemewahan dan kemegaan. Ketika kata-kata di atas meracuni mindset manusia masa kini. Imajinasi  yang selalu terbayang dalam benak adalah sukses, mapan, dan hidup mewah. Dalam mencapai itu, tidak jarang juga cara–cara yang pintas dan licik ditempuh oleh sebagian manusia. 

Pernyataan ini bukan berarti tidak boleh sukses, kaya, dan mapan, tetapi pertanyaannya ketika semua itu diperoleh dengan cara yang licik dan bertopeng. Apakah anda berani berkata ini rejeki Sang Khalik untukku? Jangan-jangan hak orang lain yang kita rebut dengan begitu rakusnya. Temukan kisa mereka sekarang juga. Anda akan di ajak berkelana oleh Tegar  si yatim alias guru teladan yang rajin beribadah itu.

                                                      - Terima Kasih -

Nama : Natalius Tekege
NPM : 032111099
Blog  :  www.dihaimoma.com

GATRA GURU TENTANG GURU DALAM NOVEL SARJANA DI TEPIAN BASKOM



Oleh
Ade Rusfiyandi

Tentang Novel Sarjana Di tepian Baskom

Berapa banyakkah anak di sekolah yang bercita-cita kelak menjadi guru? Walaupun ada, kecil pastilah jumahnya. Banyak anggapan menjadi seorang guru takkan bisa mempertahankan hidup dengan segala kecukupan. Keresahan melanda anak-anak muda khususnya para mahasiswa di kejuruan pendidikan alias para calon guru. Tidak seperti arsitek yang membangun gedung-gedung tinggi bila dapat tender maka makmurlah mereka, tidak seperti dokter yang bila pensiun sekalipun masih bisa membuka praktik kesehatan pribadi maka pundi-pundi uang masih lancar didapat. Seorang guru masih terombang-ambing nasibnya, mengikuti kebijakan pemerintah yang masih saja belum dianggap bijak oleh rakyatnya. Hal itu pula yang dirasakan Tegar, seorang sarjana pendidikan yang baru saja lulus. Banyak tetangga yang menggunjing merendahkan bahkan membandingkan anak mereka yang sudah kerja sebagai buruh di perusahaan tertentu. “Lihatlah si Marno! Lulus SMA kerja di pabrik gajinya lebih dari dua juta,” ya begitulah hantaman telak yang diterima Tegar dari Mak Yati, ibunya. “Lalu untuk apa kita sekolah tinggi-tinggi kalo nantinya jadi seperti Tegar?”, tanggapan yang sudah biasa ditelan Tegar bulat-bulat karena gajinya kalah besar dengan buruh yang lulusan SMA.


Setegar namanya, Tegar tetap lurus hati memilih guru sebagai profesinya. Tegar mengajar di sekolah dekat kampugnya yang bisa dibilang pendapatannya tidak banyak bahkan cenderung kurang. Tegar merasakan sebuah kebahagiaan sekaligus kegundahan yang mendalam selama mengajra di sekolah tersebut. Bahagia ia dapat ikut mengabdi pada lingkngannya, gundah karena keadaan guru yang tetap saja begitu, 
“... tentang kesejahteraan guru, tentang upah yang kurang dari Rp15.000,00 per jamnya, tentang keadilan yang tak adil. Di mana Pancasila?”.
            Ditambah dengan siswa-siswa di sekolah tersebut yang ‘nungging’ di bawah garis kemiskinan, memakasa minat bersekolah mereka ditekan sekerdil-kerdilnya oleh orangtua mereka yang lebih setuju anaknya mencari uang.

            Nasib berkata baik rupanya, pada suatu kesempatan ia bertemu Mrs. Adri Nurcahyani, seorang vice principal atau kepala sekolah di sekolah dengan taraf internasional. Singkat cerita Tegar diterima menjadi guru di sekolah tersebut, bahkan menjadi pembina kelas art atau kesenian yang mengikuti festival teater nasional dengan memboyong tropi juara dua. Nasib bertambah baik dirasa oleh Tegar, bersama janji yang dibangun Daaris dan dirinya. Daaris adalah sahabat Tegar yang paling dekat ketika mereka bersama-sama kuliah. Daaris adalah orang yang mengajarkan Tegar tentang dunia kesenian khususnya teater. Saat tegar bersyukur telah memperoleh gaji sebesra 5 juta rupiah, Daaris telah tenar dengan grup musikalisasi puisinya, Senandung. Keduanya memilih jalan berbeda, tetapi menuai kesuksesan yang sama. Ketunaian janji 7 Desember di puncak Gantole anatara Daaris dan Tegar.

Tentang Penulis
WildanF. Mubarock secara harfiah berarti anak kecil peng-huni surga. Lulusan Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Hamka Prodi Bahasa Indonesia ini mengabdikan dirinya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan sebagai dosen. Beberapa buku yang pernah diterbitkan antara lain: kata-berkata (kumpulan puisi haiku dan puisi pamflet) dan CROOT, “Cerita Orang-Orang Top” (Coretan Kata yang Terbuang dan Gerimis Aku Menangis). Kedua buku diterbitkan oleh Kopisastra dan Wr Media Publising pada tahun 2013 dan 2014. Novel Sarjana di Tepian Baskom merupakan novel garapan per-tamanya. Novel yang akan menjadi ayah dan ibu untuk mela-hirkan novel-novel selanjutnya (begitulah janji yang diucapkannya). Menulis dan mengajar baginya merupakan takdir yang mesti dijalani dengan kesungguhan hati serta ketulusan diri.

Analisis Novel “Sarjana di Tepian Baskom” karya Wildan F. Mubarok dalam Perspektif Psikosastra Melalui Sudut Pandang Psikologi Pengarang Berdasarkan Tokoh di Novel

Psikosastra tidak akan membahas ketuntasan sebuah masalah dengan cara pemecahan psikologis, melainkan membantu karya sastra menjadi jelas lewat pandangan psikologis. Ada tiga sasaran utama dalam psikosastra, yaitu karya sastra, penulis, dan pembacanya. Nyoman Kutha Ratna beranggapan bahwa psikosastra lebih condong membahas tentang psikologis penulis atau pengaranganya. Maka dari itu karya sastra (tokoh yang ada di dalamnya) akan membantu analisis psikologis pengaranganya. Sedangkan peneliti (yang melakukan analisis) akan secara alami sebagai pembacanya. Itulah mengapa analisis kali ini akan menitikberatkan psikologis pengarang novel sebagai objek utama penelitian.

Sebelum menganalisa psikologis pengarang ada baiknya dianalisa penokohan pada novel Sarjana di Tepian Baskom. Berikut adalah hasil analisa penokohan (tokoh utama saja) dalam novel tersebut:
No.
Nama Tokoh
Penokohan
Kutipan yang Membuktikan
Halaman
1
Tegar
Simpati pada anak didiknya
“Aku ingin menjadi buruh pabrik. Cita-citaku jadi buruh pabrik yang sukses.‖ Ucapan Dado diamini seisi kelas. Sebuah cita-cita spontan dan lantang. Namun, menyayat hati Tegar.”
25
Pintar dalam akademik
“... setelah lulus sarjana dengan nilai IPK di atas rata-rata, Tegar tak pernah menerima honor mengajarnya lebih dari satu juta rupiah....”
23
Religius
“Sepenggal doa setelah salat tahajud meng-getarkan hati Tegar, bibirnya melantunkan doa, kedua tanganya menengadah ke Arsy tempat Sang Pencipta bersemayam. Ber-doalah Tegar penuh khusyuk.”
37
Berbakti pada orangtua
“Tegar mengerti bahwa membuat Mak Yati bangga dan ba-hagia adalah alasan yang tepat untuk melangkah.”
49
Sederhana
“Di antara mereka ada yang memberikan kenang-kenangan berupa baju batik dan kemeja sederhana bukan merek ternama dalam bungkus kado. Bagi Tegar bukan masalah harga, tapi ketulusan siswa-siswanya memberilah yang membuatnya terharu dalam lantunan lagu yang samar oleh angin yang ber-dansa tanpa gaun pesta dan hingar-bingar lampu disko. Orang kaya memberi itu biasa, orang tak mampu memberi itu luar biasa.”
51
Melankolis atau perasa
“Lantungan lagu Terima Kasih Guru membawa haru yang
tanpa sadar membuat Tegar berkaca-kaca mesti kacamata menutupi mata birunya.”
51-52
Bersungguh-sungguh serta tanggung jawab dalam bekerja
“Sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, ia mesti menjadi model nyata bagi siswanya. Akan terlihat lucu jika mengajarkan menulis, namun tak pernah menulis. Akan jadi apa siswa-siswa Tegar?”
55
Lugu
“Pria lugu yang polos dan belum mengerti arti cinta itu hanya punya satu kata di benaknya: sukses.”
67
Optimistis
“ ‘Pak Tegar yakin sekali, memang hadiahnya berapa?
Tujuh puluh lima juta, Bu, untuk juara pertama.
Wah, besar juga, juara kedua berapa, Pak?
‘Saya tidak berpikiran juara kedua, Bu. Makanya yang saya lihat hanya juara satu,
Tegar mencoba meyakinkan atasannya. Sedikit tersenyum untuk meyakinkan atasannya.”
76
Pengayom bagi adik-adiknya
“Tegar hendak mengajarkan dua hal malam itu pada Wilma. Pertama, bahwa perbuatan buruk tidaklah mesti dibalas dengan keburukan. Kedua, berbagi merupakan perintah agama yang berbanding terbalik dengan hukum matematika.”
103
Gemar mengarang lagu
Senandung Lagu untuk Ayah, karya terbaru Tegar yang hendak ia rekam bersama Daaris, persembahan untuk almarhum ayah, bapak.”
115


Memiliki prinsip
“ ‘Kau nih, Gar, sudah mau lulus belum punya pacar, malu napa? Nanti wisuda PW-mu siapa?
‘PW apa sih?
‘Pendamping weenak?
Buatku pacaran NO, taaruf Yes.
‘Dasar kau sok religius.’ “
136
2
Daaris
Humoris namun penyendiri
“...jawab singkat pria berambut poni yang kocak tapi menjengkelkan bagi sebagian besar teman-temannya di kelas A. Kocak sebab ia suka melawak dan bercanda tapi, lebih sering terlihat asyik menyendiri dengan pensil kayu bermerek AB, penghapus putih, dan file bututnya bergambar penyair W.S. Rendra dan Erros Sheila On 7.”
30
Seorang berjiwa seni
“Namun, jangan tanya kemampuannya berpuisi dan bermusik, ialah jagonya.”
30
Kritis
“ ‘... Tapi, mesti kauingat aku ini minoritas karena sejak SD sampai perguruan tinggi kita dididik untuk mengembangkan otak kiri saja, padahal yang terpakai di masyarakat sering kali justru sebaliknya.’ ”
33
Cerdas dalam berargumen
“ ‘Sebagai contoh Gar, pesepak bola kaya Ronaldo dibayar mahal bukan karena hafalannya tentang pengertian sepak bola, jenis-jenis menendang atau hafal luas lapangan sepak bola. Keterampilan bermain bolalah yang menjadikannya bernilai mahal dan dielu-elukan jutaan umat manusia. Contoh lain, Reza Rahardian dibayar fantastis bukan karena hafalannya mengenai pengertian drama atau jenis-jenis drama, melainkan karena keterampilannya bermain drama dalam layar lebar. Hafalan tadi di otak kiri, nah aplikasinya bagian otak kanan, Gar. Right?‘ ”
33-34
Disiplin
“ ‘Disiplin kalian mana? Ingat disiplin itu penting karena menyangkut tiga hal: pertama, waktu; kedua, tanggung jawab; dan yang ketiga, amanah, bentak Daaris dan seketika wajahnya memerah.”
84-85
Sahabat yang dapat diandalkan
“Itulah kenang Tegar kepada Daaris, teman yang menginspirasinya dalam bersastra dan ber-teater. Teman sekaligus guru, sahabat dalam berkesenian yang pastinya mengasyikkan.”
87
Puitis
“ ‘Jangan salahkan awan, Gar. Angin yang membawanya terbang menutupi matahari yang cantik, bisik Daaris beberapa tahun lalu di lantai empat kampus...”
94
Jujur dalam beranggapan
‘Bagus.
‘Terus? pinta Dinda penasaran.
‘Ya bagus, cuma masih kasar mainnya, sahut Daaris.”
128
Lalai dalam beragama
“Ketakutan Tegar akhirnya terjadi pada Daaris. Lupa perintah Tuhan. Daaris melupakan kewajibannya. Melalaikan-nya.”
156


            Setelah dianalisis penokohannya, barulah tahap selanjutnya adalah menganalisis psikologis pengarang. Dalam sebuah novel sejatinya memang mengisahkan kenyataan dan fiksi. Tergores jelas dalam novel ini kedua hal tersebut. Dapat dikatakan demikian, sebab analisator mengetahui sedikit banyak mengenai pengarang, pengarang adalah dosen dari analisator. Ada keuntungan karenanya, analisator mendapat kemudahan menganalisa psikologis pengarang bukan hanya dari karyanya saja, melainkan mengalami langsung gambaran psikis dari pengarang. Agak terdengar subjektif memang, namun percaya atau tidak analisator berupaya tidak menjadi subjektif.

            Kita mulai dari pemilihan judul. Judul Sarjana di Tepian Baskom mengisyaratkan sebuah ironi dengan gaya bahasa paradoks atau bertentangan. Seorang sarjana yang dianggap seorang yang berpendidikan disandingkan dengan hal yang sepele semacam baskom, merupakan salah satu kecenderungan pengarang yang menyukai hal-hal yang satir. Ada kegundahan di dalam kesatiran tersebut, berarti pengarang dengan kepekaannya mampu menangkap masalah sosial di sekitarnya, di mana banyak beranggapan titel sarjana adalah kemewahan tersendiri namun nasibnya banyak yang menemui ketidakberhargaan semacam nasib baskom yang murah. Terlebih lagi yang terjadi pada sarjana keguruan yang malu mengakui latar belakang pendidikannya, sebab beranggapan guru bukanlah profesi yang menjanjikan bagi dalam hal materi untuk menunjang kehidupan dan tidak dapat dibanggakan sama sekali pada orang lain.

            Dua tokoh sentral dalam novel tersebut, Tegar dan Daaris, merupakan satu kepribadian yang ‘dibelah’. Tegar seorang guru dengan gelar sarjana pendidikan adalah mutlak seorang Wildan F. Mubarok yang sesuai dengan latar belakang Tegar. Kemudian Daaris merupakan orang yang sangat mencintai kesenian, terlebih lagi pada musikalisasi puisi, yang lagi-lagi adalah diri Wildan F. Mubarok dengan harapan yang terkandung di dalam tokoh tersebut. Seolah-olah Wildan F. Mubarok bermain dalam kisah orang lain yang sangat dekat namun sesungguhnya adalah pribadinya sendiri. Terbukti dari penggambaran Tegar yang cenderung menuruti kaidah-kaidah profesi keguruan yang kental. Di sisi lain Daaris digambarkan seorang yang idealis dan memberontak terhadap apa yang tidak dikehendakinya semisal dalam kutipan 
“... tapi, mesti kauingat aku ini minoritas karena sejak SD sampai perguruan tinggi kita dididik untuk mengembangkan otak kiri saja, padahal yang terpakai di masyarakat sering kali justru sebaliknya.”.

            Pada dasarnya tokoh inti yang merefleksikan Wildan F. Mubarok adalah Tegar, namun tidak dapat dipungkiri caranya bercerita melalui point of view orang ketiga adalah sisi lain Wildan F. Mubarok yang ‘pemberontak’ seperti Daaris. Sudah sangat jelas kedua tokoh tersebut memanglah satu kepribadian yang sama yang bersumber dari pengarangnya. Alasan mengapa kepribadian menjadi bercabang adalah kemungkinan menanamkan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Daaris seorang seniman yang berhasil tenar melalui karyanya dan kemampuannya. Wildan F. Mubarok kemungkinan ingin dirinya seperti itu, namun pemilihan hal itu sebagai fiksi menjadi jawabannya. Wildan F. Mubarok merupakan guru yang mau jujur dalam menyampaikan perasaannya. Perasaan gundah yang mempertanyakan “Apakah guru harus sengsara dalam materi di saat dia senang mengabdi?”. Pertanyaan itu memberi pertanyaan yang lain “Haruskah menjadi guru dengan penghasilan ‘pas-pasan’ atau meninggalkannya?”. 

            Dari pertanyaan itulah Wildan F. Mubarok merangkai sebuah fiksi dengan harapan yang besar. Tegar yang bernasib baik bisa mengajar di sekolah bertaraf internasioanl dan menjadikan kehidupannya membaik. Namun tidak semua guru semujur nasib Tegar bukan? Di situlah Wildan F. Mubarok ingin memberi gambaran pada pemerintah dengan pernyataan andai saja nasib semua guru seperti Tegar. 

            Ada ironi yang ditangkap oleh Wildan F. Mubarok yaitu dengan pencerminan kata-kata Stephen R. Covey,
Zaman akan memakan buruh-buruh dengan lahap tanpa ampun dan tak berperikemanusiaan. Kapitalis. Robot-robot menggantikan peranan manusia. Mereka yang bekerja dengan fisik semata akan punah dengan sendirinya.

Dalam kisah tersebut, Tegar dicemooh oleh orang di lingkungan rumahnya, yang beranggapan bahwa nasib guru tidak jauh lebih baik dari seorang buruh. Seorang berpendidikan tinggi tidak lebih baik nasibnya dari orang bertamatkan pendidikan SMA. 

            Ada humor yang slapstic pada novel tersebut, di mana nasib Tegar jadi membaik dengan berpenghasilan cukup, lalu Mak Yati berbelanja sayuran di tukang sayur keliling, temapt ibu-ibu bergunjing dan ‘membongkar’ urusan ‘dapur’. Diceritakan tetangga Mak Yati jadi panas hati saat melihat belanjaan sayuran Mak Yati yang terbilang besar dan menandakan keuangannya membaik. Nilai kehidupan berharga yang dapat dipetik adalah biarkan semua orang menggunjing sinis pada diri kita, tetapi penghasilan jugalah yang nanti akan meredakan gunjingan mereka. Kenyataan sosial tersebut memang nyata dan benar-benar terasa di negeri kita yang menilai kedudukan seseorang di masyarakat tinggi atau tidak melalui angka penghasilan. Sebuah paradigma yang keliru dan tidak menggambarkan adat ketimuran negeri kita.

Lebih jauh dan lebih mudah menangkap sisi psikologis pengarang novel tersebut adalah dari pemilihan dan pengolahan kata saat penceritaan, tidak terkait dalam tokoh. Di situlah Wildan F. Mubarok menunjukkan gagasan, pendapat, dan perasaan yang jujur baik disadari atau tidak disadari. Wildan F. Mubarok banyak menggunakan kata yang mungkin dipandang tidak pantas dilontarkan dari seorang guru atau dosen seperti perkara ‘dede-dedean’ yang berbau seks dan kata-kata sarkastik lainnya. Sudah dapat dijelaskan bahwa Wildan F. Mubarok adalah pemberontak yang mau keluar dari kemunafikan bahwa guru adalah orang yang suci. Wildan F. Mubarok seakan ingin berkata bahwa guru adalah manusia biasa yang memilik pemikiran sarkastik, ucapan yang ‘nyeleneh’ dan bebas berekspresi bahkan liar. 

Namun dibalik keliaran-keliaran itu, Wildan F. Mubarok sebagai guru tidak mau keliaran itu keluar dari kaidah sopan santun yang berlaku. Tergambar dari penyebutan tokoh dengan gelarnya semisal penyebutan Dr. Hj. Eri Sarimanah, M.Pd., yang sepengetahuan analisator jarang seorang penulis dengan formal mengatakan tokoh dengan gelar pendidikannya. Berarti Wildan F. Mubarok pandai memposisikan dirinya pada situasi yang berlawanan, atau kita pinjam slogan yang dikenal dimasyarakat ‘Bebas tetapi sopan’. 

Dapat disimpulkan karya sastra dapat membantu analisator dalam mengidetifikasi psikologis pengarang. Tidak ada niatan untuk memberi anggapan dengan paksaan dakwaan yang harus dipercaya, sebab psikosastra seperti yang sudah dikatakan tidak menyelesaikan persoalan psikologis pengarang, jadi tidak ada yang baik atau buruk, benar atau salah, dan tepat atau tidak tepat. Analisis ini hanya menyampaikan kesetujuan analisator terhadap prinsip sastra yaituutile un dulce, menyenangkan dan memberi manfaat. Karya sastra jugalah yang memperkenalkan diri pelakunya. Semoga.